Sukses

HEADLINE: Jokowi Teken Revisi UU ITE, Masih Banyak Pasal Karet?

Proses revisi UU ITE ini dinilai terkesan tertutup sehingga memberikan sedikit ruang bagi keterlibatan dan pengawasan publik.

Liputan6.com, Jakarta - Pada Kamis, 4 Januari 2024 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatani Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan kedua atas atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.

Pemerintah mengklaim, revisi UU ITE ini dilakukan karena pada aturan sebelumnya masih ada multitafsir dan kontroversi di masyarakat. Tapi rupanya, meski sudah direvisi, masih banyak pasal karet dan kontroversi di dalamnya.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE (Koalisi Serius) mengungkapkan sejumlah pasal yang masih bermasalah seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses.

"Pasal-pasal bermasalah tersebut akan memperpanjang ancaman bagi publik mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia," tulis Koalisi Serius dalam keterangan tertulisnya.

Koalisi Serius ini adalah gabungan dari sejumlah organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Amnesty International Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Imparsial, Koalisi Perempuan Indonesia dan masih banyak lagi. 

Pasal-pasal yang dinilai bermasalah itu antara lain Pasal 27 ayat 1 dan 2 yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil.

Bunyinya adalah:

(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronikdan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum.

(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronikdan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.

Kemudian Pasal 28 yang kerap dipakai untuk membungkam kritik, yang berbunyi:

(1) Setiap orang dengan sengaj adan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang berisi pemberitahuan bohong atau informasi menyesatkan yang mengakibatkan kerugian materiel bagi konsumen dalam Transaksi Elektronik.

(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik.

(3) Setiap 0rang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.

Selain itu, DPR dan Pemerintah juga menambahkan ketentuan baru, salah satunya Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang. Ketentuan ini masih bersifat lentur dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis. Pasal baru lainnya adalah Pasal 27B tentang ancaman pencemaran.

Pasal 27A berbunyi:

Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.

Pasal 27B berbunyi:

(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk:

a. memberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; atau

b. memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang.

(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya:

a. memberikan suatu barang yang sebagia atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; atau

b. memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang.

Selain itu, ada juga pasal 28 ayat 3 dan pasal 45A ayat (3) tentang pemberitahuan bohong yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru. Pasal ini berpotensi multitafsir karena tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pemberitahuan bohong dalam pasal ini.

Pasal 28 ayat 3 berbunyi:

Setiap Orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.

Sementara pasal 45A ayat 3 berbunyi:

Setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.O0O.0O0,00 (satu miliar rupiah).

Selain pasal-pasal pemidanaan, hasil revisi kedua UU ITE masih mempertahankan Pasal 40 terutama pada pasal 2a yang memberikan kewenangan besar bagi pemerintah memutus akses terhadap informasi yang dianggap mengganggu ketertiban dan dan melanggar hukum.

Pasal 40 ayat 2a hingga 6 tersebut berbunyi:

(2a) Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2b) Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan Akses dan/atau memerintahkan kepada penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.

(2c) Perintah kepada Penyelenggara Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2b) berupa pemutusan Akses dan/ atau moderasi konten secara mandiri terhadap Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pornografi, perjudian, atau muatan lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sepanjang dimungkinkan secara teknologi.

(2d) Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan moderasi konten terhadap Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan berbahaya bagi keselamatan nyawa atau kesehatan individu atau masyarakat.

(3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data elektronik strategis yang wajib dilindungi.

(4) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya serta menghubungkannya ke pusat data tertentucuntuk kepentingan pengamanan data.

(5) Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3) membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya sesuai dengan keperluan pelindungan data yang dimilikinya.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a1, ayat (2b), ayat (2c), ayat (2d), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal lain yang juga bermasalah dalam ketentuan pemidanaan yaitu Pasal 45, dan 45B.

Pasal 45 berbunyi:

(1) Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronikdan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipidana dalam hal:

a. dilakukan demi kepentingan umum;

b. dilakukan untuk pembelaan atas dirinya sendiri; atau

c. Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik tersebut merupakan karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan/ atau ilmu pengetahuan.

(3) Setiap 0rang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(4) Setiap orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan tindak pidana aduan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan korban atau orang yang terkena tindak pidana dan bukan oleh badan hukum.

(6) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dibuktikan kebenarannya dan bertentangan dengan apa yang diketahui padahal telah diberi kesempatan untuk membuktikannya, dipidana karena fitnah dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

(7) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dipidana dalam hal:

a. dilakukan untuk kepentingan umum; atau

b. dilakukan karena terpaksa membela diri.

(8) Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk:

a. memberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; atau

b. memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27B ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(9) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan dalam lingkungan keluarga, penuntutan pidana hanya dapat dilakukan atas aduan.

(10) Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya:

a. memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; atau

b. memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27B ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(11) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (10) hanya dapat dituntut atas pengaduan korban tindak pidana.

Sementara Pasal 45B berbunyi:

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara langsung kepada korban yang berisi ancaman kekerasan dan/ atau menakut nakuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tqjuh ratus lima puluh juta rupiah).

Menurut Koalisi tersebut, UU ITE di Indonesia adalah salah satu contoh tren di dunia bagaimana undang-undang terkait kejahatan dunia maya disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.

Sejak disahkan pada 2008 dan revisi pertama 2016, UU ITE telah mengkriminalisasi pembela hak asasi manusia (HAM), jurnalis, perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, hingga warga yang melontarkan kritik sahnya.

Proses revisi UU ITE ini juga terkesan tertutup sehingga memberikan sedikit ruang bagi keterlibatan dan pengawasan publik.

"Kurangnya transparansi ini menimbulkan risiko besar yang berpotensi menghasilkan peraturan yang menguntungkan elite dibandingkan perlindungan hak asasi manusia," ujar Koalisi Serius.

Melihat masih banyaknya masalah dalam revisi kedua UU ITE tersebut maka Koalisi Serius menolak pengundangan Revisi Kedua UU ITE oleh DPR RI karena telah mengabaikan partisipasi publik serta terus melanggengkan pasal-pasal yang berpotensi digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan pelanggaran HAM.

Selain itu, Koalisi Serius juga mendesak pemerintah untuk memastikan implementasi UU ITE ini agar tidak digunakan untuk mengkriminalisasi kelompok kritis dan korban kejahatan yang sesungguhnya.

Mereka pun mendesak pemerintah dan DPR untuk melibatkan publik dalam setiap pengambilan keputusan.

Bukan Untuk Kriminalisasi Masyarakat

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi menegaskan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) jilid II, bukan untuk mengkriminalisasi masyarakat yang menyampaikan kritik dan pendapat. Menurut dia, Indonesia merupakan negara demokrasi sehingga kebebasan pendapat adalah hal utama.

"Ya, enggak lah. Karena itu ada berbagai isu yang harus kita ini, kita harus dialog, diskusikan, spirit kita kan negara demokrasi gitu loh," jelas Budi Arie kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (5/1/2024).

Dia membantah revisi UU ITE jilid kedua ini memperbesar kewenangan pemerintah. Budi menjelaskan pemerintah ingin menjaga agar ruang digital di Indonesia lebih kondusif dan berbudaya.

"Yang pasti kan pemerintah ingin menjaga ruang digital kita lebih kondusif dan lebih berbudaya," jelasnya.

Ketua Umum Relawan Pro Jokowi (ProJo) itu menyampaikan pemerintah akan membuat ruang diskusi untuk membahas pasal-pasal dalam revisi UU ITE yang dianggap bermasalah. Dia memastikan tak akan semena-mena dalam menerapkan revisi UU ITE jilid II ini.

"Ya pasti dong, kan ada case-nya apa. Kita enggak mau semena-mena kan. Ini negara demokrasi kita perjuangin susah payah loh, masa demokrasi kita jadi caci maki dan sumpah serapah," tutur Budi.

Dia mengatakan masyarakat tak perlu takut dengan revisi UU ITE jilid 2 ini. Pemerintah, kata Budi, tak akan memberikan sanksi begitu saja apabila masyarakat tak melanggara aturan.

"Ini ketakutan sama bayangan sendiri, kalau kalian baik-baik enggak usah takut kan. Ya kalau produksi hoaks masa kita tolerir," ucap Budi.

2 dari 3 halaman

Lebih Baik Direvisi Total?

Pengamat Telekomunikasi sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi berharap merevisi total UU ITE ini sebab dalam merevisi undang-undang ini, pemerintah dan DPR hanya melakukan tambal sulam. Di mana banyak pasal-pasal yang masih kontroversi dan banyak merugikan masyarakat.

"Tambal sulam menjadi UU ini di satu sisi mencoba menjawab tantangan perubahan, tapi di sisi lain juga memberi kesan ada hal-hal yang selama ini salah diterapkan UU ITE yang telah membuat banyak orang masuk penjara," kata Heru kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat, (5/1/2023).

Misalnya, pada Pasal 28 yang awalnya hanya terkait e-commerce namun kemudian ditarik ke ujaran kebencian berdasar SARA meski bukan terkait e-commerce.

Kemudian, penambahan Pasal 27A yang justru makin membingungkan dan diduga akan makin banyak disalahgunakan melebihi Pasal 27 ayat 3 yang sudah sedemikian banyak korbannya.

"Sekali lagi kita apresiasi, tapi berharap pimpinan Indonesia ke depan merevisi total UU ITE agar tidak terlihat tambal sulamnya dan memang dikhususnya untuk bagaimana mendorong ekonomi digital Indonesia yang saat ini masih jauh di bawah harapan dan prediksi banyak pihak," ujar dia.

Namun, ia juga mengapresiasi adanya beberapa hal baru yang memperkuat perlindingan anak di internet seperti pada pasal 16A. Di mana penyelenggara sistem elektronik diwajibkan menyediakan informasi terkait anak.

Informasi yang diwajibkan mencakup batasan minimum usia anak yang dapat menggunakan produk atau layanannya; mekanisme verifikasi pengguna anak; serta mekanisme pelaporan penyalahgunaan produk, layanan, dan fitur yang melanggar atau berpotensi melanggar hak anak.

Penyelenggara sistem elektronik diancam sanksi teguran tertulis, denda administratif, penghentian sementara, hingga pemutusan akses bila tak patuh.

Berbeda dengan Heru, Pengamat Teknologi Informasi Pratama Persadha menilai revisi UU ITE ini sudah memenuhi harapan publik.

"Revisi UU ITE ini seharusnya sudah memenuhi harapan publik karena beberapa pasal karet di UU ITE sebelumnya sudah dihilangkan," kata Pratama kepada Liputan6.com

Misalnya, kata dia, Pasal 27 ayat (3) tentang pidana penghinaan atau pencemaran nama baik melalui saluran elektronik, dan merevisinya dengan menambahkan 2 pasal baru yaitu sehingga pasal 27A yang memuat,

"Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik."

Serta Pasal 27B mengatur soal: "Setiap orang dengan sengaja atau tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk:

a. memberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain, atau

b. memberi utang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang."

Selain itu pasal tentang hoaks atau berita bohong juga turut di revisi seperti tercantum pada Pasal 28 ayat (3) yang berbunyi:

"Setiap orang dengan sengaja menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat."

Revisi UU ITE juga mengubah ketentuan pasal karet lain, yaitu Pasal 29 yang mengatur ancaman kekerasan ditujukan secara pribadi. Pasal tersebut mengalami perubahan dengan dihilangkannya kata "pribadi", sehingga menjadi: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara langsung kepada korban yang berisi ancaman kekerasan dan/atau menakut-nakuti."

"Pasal-pasal yang mengatur pencemaran nama baik serta pembuatan dan penyebaran hoaks tersebut memang seharusnya tetap dipertahankan karena setelah dilakukan revisi pada pasal-pasal tersebut diharapkan sudah tidak terjadi multitafsir terhadap tindakan-tindakan yang dianggap melanggar hukum terkait dengan kebebasan berekspresi," kata dia.

Di dalam revisi UU ITE itu, kata Pratama, sudah ada perubahan norma pasal mendasar yang semakin tegas, dan jelas, agar tidak menjadi celah kriminalisasi pasal karet seperti dulu.

"Dengan rumusan pasal yang jelas dan tegas, aparat penegak hukum akan lebih mudah mengimplementasikan agar pasal tak multitafsir," ujarnya.

Apalagi, hal ini diperkuat dengan adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Kriteria Implementasi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Adanya pedoman ini, kata dia, diharapkan penegakan hukum terkait UU ITE tidak menimbulkan multitafsir dan dapat menjamin terwujudnya rasa keadilan masyarakat.

"Kebebasan berekspresi memang merupakan hak azasi manusia namun kebebasan berekspresi juga masih harus diberikan batasan karena jika tidak dapat menimbulkan kericuhan jika setiap orang mengeluarkan ekspresi sebebas-bebasnya sampai menghina nama baik orang lain atau bahkan menimbulkan kekisruhan karena ekspresi yang diungkapkan mengandung muatan SARA yang dapat menyinggung kelompok atau agama tertentu dan menimbulkan masalah sosial yang lebih besar dan lebih luas," tandasnya.

Sementara anggota Komisi I Dave Laksono mengatakan bahwa UU ITE yang baru bakal ada turunan hukumnya yang akan dibuat oleh Kepolisian, Kumham ataupun Kejaksaan.

Sehingga hal-hal yang dianggap multitafsir dan memunculkan keraguan bisa diperjelas melalui produk hukum tersebut.

"Ini merupakan tanggung jawab dari pemerintah khususnya aparat penegak hukum, untuk memberi kejelasan dan kepastian akan apa yang masyarakat khawatirkan," ujarnya.

3 dari 3 halaman

Poin-Poin UU ITE yang Diubah

Dalam revisi UU ITE ini, ada beberapa aturan yang diubah dari UU Nomor 11 tahun 2008 dan UU Nomor 19 tahun 2016. Perubahan sejumlah aturan ini untuk mewujudkan rasa keadilan masyarakat dan memberikan kepastian hukum.

Dalam Pasal 45 UU Nomor 1 tahun 2024 diatur soal hukuman terhadap pelanggar ITE. Berikut aturannya:

1. Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum sebagaimana, dapat dipidana paling lama 6 (enam) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

2. Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipidana dalam hal:

  1. dilakukan demi kepentingan umum;
  2. dilakukan untuk pembelaan atas dirinya sendiri; atau

Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik tersebut merupakan karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan/ atau ilmu pengetahuan.

3. Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 miliar.

4. Setiap orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik dipidana dengan pidana penjara paling lama2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp400 juta.

5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan tindak pidana aduan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan korban atau orang yang terkena tindak pidana dan bukan oleh badan hukum.

6. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 4, tidak dapat dibuktikan kebenarannya dan bertentangan dengan apa yang diketahui padahal telah diberi kesempatan untuk membuktikannya, dipidana karena fitnah dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/ atau denda paling banyak Rp750 juta.

7. Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dipidana dalam hal:

  1. dilakukan untuk kepentingan umum; atau
  2. dilakukan karena terpaksa membela diri.

8. Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk:

  1. memberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; atau
  2. memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

9. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan dalam lingkungan keluarga, penuntutan pidana hanya dapat dilakukan atas aduan.

10. Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya:

  1. memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; atau
  2. memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp1 miliar.

11. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (10) hanya dapat dituntut atas pengaduan korban tindak pidana.

Sementara itu, Pasal 45 A secara spesifik mengatur soal sanksi bagi penyebar berita haoks atau bohong dan informasi menyesatkan. Mereka dapat dipidana penjara paling lama 6 tahun atau denda paling banyak Rp1 miliar.

"Setiap Orang yang dengan sengaja mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi pemberitahuan bohongatau informasi menyesatkan yang mengakibatkan kerugian materiel bagi konsumen dalam Transaksi Elektronik dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/ atau denda paling banyakRp1 miliar," bunyi Pasal 45A ayat 1.

Kemudian, setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ataumentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau orang lainsehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama,kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental,atau disabilitas fisik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/ ataudenda paling banyak Rp1 miliar.

Selain itu, setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara langsung kepada korban yang berisi ancaman kekerasan dan/ atau menakut-nakuti, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.

Aturan ini diteken Jokowi pada 2 Januari 2024. Revisi UU ITE ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.